Suku Da’a:
Di Provinsi Sulteng, ada komunitas suku terasing yang membangun rumah dan hidup di atas pohon. Namanya Suku Da’a, berhabitat punggung di gunung Gawalise. Populasi mereka diperkirakan sekitar 20-an ribu orang,tersebar di enam Kecamatan di Kabupaten Donggala.
Di Provinsi Sulteng, ada komunitas suku terasing yang membangun rumah dan hidup di atas pohon. Namanya Suku Da’a, berhabitat punggung di gunung Gawalise. Populasi mereka diperkirakan sekitar 20-an ribu orang,tersebar di enam Kecamatan di Kabupaten Donggala.
Can. Katanya, suku ini mempunyai keahlian menyumpit, seperti suku Dayak di Kalimantan. Di sana juga bersemayam kekuatan-kekuatan supranatural nan dahsyat. Warga disana sering mengadakan lomba-lomba kesaktian yang mengerikan, misalnya lomba menginjak bara api dan lain-lain. Lebih heboh lagi, warga suku Da’a lebih senang membikin rumah diatas pohon. “Kebiasan tinggal diatas pohon ini masih bertahan sampai sekarang,” kata Kasubdin Parawisata pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng, Dra Susi Mastura. Dari dialah Serasi pertama kalimen dengar cerita tentang masyarakat terasing yang berhabitat di lereng -lereng gunung Gawalise, Kabupaten Donggala.Cerita yang sama kemudian meluncur pula dari mulut beberapa narasumber yang ditemui kemudian, diantaranya Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng, Liberty Pasaribu SH.ERITA tentang keunikan Suku Da’a,salah satu suku terasing diSulteng sungguh menggoda kesabar-
“Kebiasaan tinggal diatas pohon ini masih bertahan sampai sekarang,” kata Kasubdin Parawisata pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng, Dra Susi Mastura BUDAYA DAERAH
SERASI 24-29.pmd 31 5/29/2004, 5:48 AM 32 SERASI MEI – JUNI 2004
“Kebiasaan tinggal diatas pohon ini masih bertahan sampai sekarang,” kata Kasubdin Parawisata pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng, Dra Susi Mastura BUDAYA DAERAH
SERASI 24-29.pmd 31 5/29/2004, 5:48 AM 32 SERASI MEI – JUNI 2004
Andi Lasipi adalah sosok generasi muda Suku Da’a yang moderen.Pendidikannya pun lumayan tinggi. Ia tampil rapi dan klimis dalam balutan pakaian moderen pula Andi Lasipi, Tokoh Adat Suku Da’a Salah satu komunitas Suku Da’a di desa Dombu, Kecamatan Marowala,Kabupaten Donggala ternyata bisa dijangkau
hanya dalam waktu kurang lebih sejam perjalanan dengan mobil dari Palu.Namun, beberapa sopir taksi yang ditanyai tentang lokasi tinggal Suku Da’a ini malah mengaku tidak tahu menahu. Beberapa sopir tadi adalah putra asli Palu dari etnik Kaili, saudara kandung etnik Da’a. Keinginan untuk mengunjungi Dombu sepertinya
nyaris pupus. Namun pda hari terakhir kunjungan ke Palu,rencana itu terlaksana berkat bantuan Andi Satria Darwin, Distrik Manager Merpati Palu yang menyediakan fasilitas kendaraan.Rombongan terdiri dari lima orang, selain Serasi, turut menyertai Mas Andi dan Mas Jiman dari Merpati Palu. Mas Jiman sendiri merangkap sebagai sopir. Juga , Mas Muhalip dari Primadona Tours and Travel yang menjual paket wisata Dombu ke turis Belgia, Belanda dan Jerman serta Mas Ardi Boka, staf Pemasaran dan Promosi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng. Pukul 09:00 waktu setempat, kendaraan kami meningalkan Palu meninggalkan Dombu. Hanya beberapa menit perjalanan, kendaraan sudah melewati batas kota. Kendaraan
terus bergerak meninggalkan area persawahan yang menghijau, lalu menyeberangi Sungai Palu nan lebar. Pada musim kemarau , volume airnya hanya sedikit. Yang terlihat hanyalah material berupa pasir dan batu gunung yang sangat banyak. Di sela-sela material ini, mengalirlah air Sungai Palu, sementara banyak warga memanfaatkannya untuk mandi dan cuci. Setelah menyeberangi sungai dengan meniti sebuah jembatan beton darurat hanya selebar sekitar 1,5 meter, kendaraan harus melewati jalanan menanjak yang berkelok-kelok. Untungnya, permukaan sudah diaspal. Pada 10 km pertama, tidak ada hal luar biasa yang ditemukan. Perjalanan menjadi begitu mendebarkan selepas itu. Jalanan sangat sempit, permukaan aspal hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat. Selain menanjak, jalanan juga berkelok-kelok tajam, dengan jurang yang dalamnya mencapai ratusan atau mungkin ribuan meter dibawahnya.Sementara di sisi lainya, alam membentangkan dinding dengan kemiringan hampir 80 derajat. Sedikit saja supir kendaraan lalai, alamatlah anda tidak akan sampai ketempat tujuan, atau juga tidak akan pulang ke Palu dalam keadaan selamat. “Ada angkutan pedesaan yang setiap hari melayani trayek Palu-Dombu,” kata Muhalip, satu-satunya orang dalam
rombongan yang sudah beberapa kali mengunjungi Dombu sehingga paling mengenal lika-liku daerah ini. Pesanggrahan Belanda Namun suasana yang mendebarkan ini rasanya terbalas tuntas ketika menyaksikan panorama alam pegunungan sepanjang perjalanan. Pemandangan benar-benar mengagumkan! Puncak Gunung Gawalise di ketinggian sekitar 1.500 di atas permukaan laut tampak berselimut kabut tebal yang sepertrinya enggan beranjak dari sana. Pada sisi kiri jalan, jurang sedalam ribuan meter tampak mengerikan,
tapi juga mengasyikan dengan pepohonan yang selalu hijau. Sementara jauh di dasar jurang, terlihat sebuah sungai dengan air yang tenang mengalir dibagian tengahnya, sedangkan pada sisi kanan dan kiri terlihat timbunan pasir gunung. Pada sedikit daerah lembah yang datar, terlihat sawahsawah menghijau. Di punggung-punggung bukit terjal itu, terlihat rumah-rumah tembok beratap seng bergelombang milik penduduk. Entah, bagaimana caranya penduduk disana bisa mengangkut material pasir, semen dan seng di ketinggia
SERASI 24-29.pmd 32 5/29/2004, 5:48 AM
SERASI MEI – JUNI 2004 33
tempat seperti itu, dengan medan yang berat pula. Keindahan Panorama alam ini memaksa rombongan kami berhenti beberapa kali selama perjalanan. Akibatnya, waktu tempuh menjadi molor sampai sekitar dua jam.Rombongan kembali berhenti di Desa Mantanmaliki, sekitar empat kilometer dari desa Dombu. Di sebuah tikungan jalan menanjak, tampak sebuah bangunan berdinding papan bercat putih, beratap seng yang tampak tidak terurus. Konon, rumah ini adalah sebuah pesanggrahan yang di hancur berantakan dan kini diganti dengan rumah papan. Meski demikian, konstruksi bangunannya masih menyerupai yang asli.Belanda sepertinya tidak salah membangun tempat peristirahatan disini. Karena dari tempat ini kita bisa leluasa menyaksikan panorama alam di semua lokasi sekitar tempat itu, termasuk melihat pemandangan Kota Palu dengan teluknya yang teduh. Udara pegunungan di ketinggian 1.300 meter di atas permukaaan laut nan sejuk, membuat orang betah berlama-lama di tempat ini. “Mantanmaliki sendiri berarti bangun Belanda sekitar awal tahun 1940-an. “ Dulu, rumah ini merupakan rumah kaca yang sangat indah.Pembangunannya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sekitar.Sedangkan bahan bangunan seperti pasir,semen dan kaca dibawa dari Palu oleh para tahanan,”cerita Andi Lasipi, Kades Dombu yang memiliki pengaruh luas di kalangan warga suku Da’a. Sayang, rumah kaca itu akhirnya empat penjuru angin. Artinya, dari tempat ini kita bisa menyaksikan pemandangan alam di keempat penjuru angin tadi,”papar Muhalip, yang juga bertindak selaku guide bagi rombongan kami.Suku Da’a, Manusia Pohon Akhirnya kami tiba juga di Desa
Dombu. Setelah menyaksikan sebuah rumah tua di atas pohon yang dihuni Keindahan panorama alam ini memaksa rombongan kami berhenti beberapa kali selama perjalanan. Akibatnya, waktu tempuh menjadi molor sampai sekitar dua jam.
SERASI MEI – JUNI 2004 33
tempat seperti itu, dengan medan yang berat pula. Keindahan Panorama alam ini memaksa rombongan kami berhenti beberapa kali selama perjalanan. Akibatnya, waktu tempuh menjadi molor sampai sekitar dua jam.Rombongan kembali berhenti di Desa Mantanmaliki, sekitar empat kilometer dari desa Dombu. Di sebuah tikungan jalan menanjak, tampak sebuah bangunan berdinding papan bercat putih, beratap seng yang tampak tidak terurus. Konon, rumah ini adalah sebuah pesanggrahan yang di hancur berantakan dan kini diganti dengan rumah papan. Meski demikian, konstruksi bangunannya masih menyerupai yang asli.Belanda sepertinya tidak salah membangun tempat peristirahatan disini. Karena dari tempat ini kita bisa leluasa menyaksikan panorama alam di semua lokasi sekitar tempat itu, termasuk melihat pemandangan Kota Palu dengan teluknya yang teduh. Udara pegunungan di ketinggian 1.300 meter di atas permukaaan laut nan sejuk, membuat orang betah berlama-lama di tempat ini. “Mantanmaliki sendiri berarti bangun Belanda sekitar awal tahun 1940-an. “ Dulu, rumah ini merupakan rumah kaca yang sangat indah.Pembangunannya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sekitar.Sedangkan bahan bangunan seperti pasir,semen dan kaca dibawa dari Palu oleh para tahanan,”cerita Andi Lasipi, Kades Dombu yang memiliki pengaruh luas di kalangan warga suku Da’a. Sayang, rumah kaca itu akhirnya empat penjuru angin. Artinya, dari tempat ini kita bisa menyaksikan pemandangan alam di keempat penjuru angin tadi,”papar Muhalip, yang juga bertindak selaku guide bagi rombongan kami.Suku Da’a, Manusia Pohon Akhirnya kami tiba juga di Desa
Dombu. Setelah menyaksikan sebuah rumah tua di atas pohon yang dihuni Keindahan panorama alam ini memaksa rombongan kami berhenti beberapa kali selama perjalanan. Akibatnya, waktu tempuh menjadi molor sampai sekitar dua jam.
SERASI 24-29.pmd 33 5/29/2004, 5:48 AM
34 SERASI MEI – JUNI 2004
Warga Suku Da’a sangat menjunjung tinggi penegakan hukum adat. Segala perkara berat dan ringan akan dianggap selesai dengan sendirinya jika sudah di selesaikan secara adat.Misalnya kasus pembunuhan.Keluarga korban akan menerima dengan hati tulus kematian anggota keluarganya jika kasus itu
diselesaikan dengan membayar denda berupa kain putih , tombak serta pemotongan hewan tanda perdamaian sepasang kakek dan nenek, kami menuju rumah kepala desa. “Masih banyak rumah di atas pohon di sekitar sini. Tapi tidak ada jalan menuju ke sana,” ujar Muhalip. Rumah beratap dan berdinding rumput itu, bertengger di antara dahan-dahan pohon mangga. Rumah itu hanya seukuran sekitar 3×2 meter. Sangat kecil, memang! Ada sebatang pohon melintang yang muda Suku Da’a yang moderen. PendidikanKeindahan Panorama alam ini memaksa rombongan kami berhenti beberapa kali selama perjalanan. Akibatnya, waktu tempuh menjadi molor sampai sekitar dua jam.nya pun lumayan tinggi. Ia tampil rapi dan klimis dalam balutan pakaian moderen pula. Usianya pun baru 33 tahun! Tapi di usia semuda itu, ia memegang peran yang berfungsi sebagai titian untuk masuk ke dalam rumah. Sementara tiang-tiang kayu penopang, tampak panjang menjulur ke bawah, menikam bumi. Di bawah kolong rumah, ada seekor ayam betina sedang mengeramkan telurnya. “Di bawah kolong rumah biasanya diikat hewan semacam babi, kambing dan ayam,” kata Muhalip. Kabut mulai turun menaungi Desa Dombu dan sekitarnya ketika kami mulai meninggalkan rumah pohon di tengah hutan itu. Hujan pun mulai turun satu-satu. Di rumah kades, kami harus menunggu beberapa saat karena siempunya rumah, Andi Lasipi sedang mengikuti Kebaktian Minggu di gereja. Semula, Serasi menduga bahwa kades yang diceritakan punya pengaruh sangat besar di kalangan warga Suku Da’a ini adalah seorang tokoh tua berjanggut, dengan berbagai aksesoris tradisional. Dugaan ini ternyata salah besar. Andi Lasipi adalah sosok generasi sangat besar bagi sekitar 20-an ribu warga Suku Da’a yang tersebar di enam kecamatan di daerah pegunungan Gawalise. “Setiap kali ada masalah yang melibatkan warga Suku Da’a dimana pun, mereka pasti datang ke sini untuk mencarikan penyelesaian. Karena berdasarkan sejarah, Dombu merupakan pusat kehidupan etnis Da’a.. Entah kenapa, saya juga heran, semua masalah yang dibawa ke sini pasti bisa di selesaikan,” katanya dengan suara lembut, namun aksentuasinya sangat jelas. Tak ada kesan ia hendak bersombong diri dengan pernyataaan tadi. Tokoh yang disegani tidak saja oleh seluruh warganya tapi juga oleh hampir semua pejabat pemerintah di Sulteng ini menjelaskan, Suku Da’a merupakan subetnis Suku Kaili, suku terbesar di Sulteng. Suku Kaili kini mendiami wilayah Palu dan sekitarnya, sedangkan Suku Da’a menghuni kawasan pegunungan
SERASI 24-29.pmd 34 5/29/2004, 5:48 AM
SERASI MEI – JUNI 2004 35
Gawalise. Sampai kini, sekitar 75 persen warga Suku Da’a tetap mempertahankan kebiasaan hidup di tempat-tempat ketinggian. Tidak heran kalau banyak di antara mereka yang membikin rumah di atas pohon. Atau, rumah-rumah panggung yang tinggi. Tinggi panggungnya di atas dua meter lebih. “Kalau panggungnya rendah, jelas orang Da’a tidak mau tinggal. Mereka hanya ingin tinggal di tempat tinggi. Selain aman dari gangguan binatang buas buas, juga lebih leluasa menyaksikan panorama alam dari atas ketinggian tadi,” tuturnya. Kini Desa Dombu sudah mulai ramai dengan perumahan. Rumah Andi Lasipi sudah moderen, rumah papan beratap seng bergelombang dengan lantai semen. “Dulu di sini hanya ada tiga rumah milik keluarga nenek saya. Tapi jika ada acara adat, jumlah warga yang datang mencapai ribuan.Entah, darimana saja mereka itu datang.Saya sendiri waktu kecil terheran-heran melihat hal itu. Banyak orang melihat Desa Dombu ini sangat misterius, kadang ada kadang menghilang.” Ada senyum tipis mengembang di bibirnya ketika bercerita tentang pengalaman ini. Warga Suku Da’a sangat menjungjung tinggi penegakan hukum adat. Segala perkara berat dan ringan akan dianggap selesai dengan sendirinya jika sudah di selesaikan secara adat. Misalnya kasus pembunuhan. Keluarga korban akan menerima dengan hati tulus kematian anggota keluarganya jika kasus itu diselesaikan dengan membayar denda berupa kain putih, tombak serta pemotongan hewan tanda perdamaian. Pelakunya tidak akan diapa-apakan oleh keluraga korban jika upacara adat ini dilaksanakan. Tapi jika denda belum dibayar, orang Da’a pun akan membalas nyawa dengan nyawa. “Saya sudah minta kepada Pak Kapolres supaya kasus-kasus yang melibatkan Suku Da’a harus diselesaikan secara hukum adat, Suku Da’a merupakan subetnis Suku Kaili, suku terbesar di Sulteng. Suku Kaili kini mendiami wilayah Palu dan sekitarnya, sedangkan Suku Da’a menghuni kawasan pegunungan Gawalise tidak usah pakai hukum negara. Kalau pakai hukum negara, susah kita. Karena warga saya pasti menuntut balas. Sedangkan kalau pakai hukum adat, semuanya pasti akan beres. Tidak perlu takut akan ada balas dendam,” kisahnya. Sungguh menarik berbincang-bincang dengan pemangku adat Suku Da’a ini. Sayang, waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WITA, sementara pukul 14.45 Serasi harus terbang kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan pulang, Muhalip sempat bercerita, ”Kalau saja Pak Kades tadi tidak punya pendidikan tinggi, Palu mungkin sudah lebih parah dari Poso tempo hari. Setiap kali ada kerusuhan di Palu yang melibatkan warga Suku Da’a, Pak Kades inilah yang selalu turun tangan untuk meredam massanya. Dan semuanya patuh pada omongan beliau.” Ya, begitulah kearifan-kearifan Suku Da’a, sebuah suku terasing di punggung Gunung Gawalise Sulteng.(Jos/Serasi)
SERASI 24-29.pmd 35 5/29/2004, 5:48 AM
Sumber:http://kailingataku.wordpress.com
- Nosuna/Khitan
- UpacaraAdat Sulawesi Tengah
- Dialek Bahasa KailiBerdasarkan Subetnis
- Kali Traditional Dress
- KAKULA Musik Etnik SukuKaili Sulawesi Tengah
- Lalove Suling SakralPengiring Tarian Balia
- Kongres Bahasa KailiLibatkan 9 Subetnis
- Pencarian Makna “Tadulako”dari Kampus hingga Situs
- Tadulako Bulili
- PITUNGGOTA
- Balia, Ritual Pengobatan alaSuku Kaili
0 komentar:
Posting Komentar