Pages

silahkan cari isi blog di sini

Kamis, 03 Mei 2012

Peralatan Tari Tradisional 2

Beragam perlatan tari tradidional yang ada di Sulawesi tengah, lebih detail dalam uraian sebagai berikut:….. 14. Tali Bonto (pengikat) Bahan: Pelepah sagu atau pelepah enau dan kain serta manik-manik. Bentuk: Pipih dibentuk bulat disesuaikan dengan ukuran kepala. Cara membuatnya. Mula-mula menyiapkan pelepah atau pelepah sagu, lalu dibersihkan kemudian diiris sepanjang 55 cm sampai 65 cm. Setelah itu bahan tadi dibungkus dengan kain.Sumber:Teluk Palu.com
Pada umumnya kain pembungkus berwarna merah. Setelah itu dipasangkan manik-manik sampai seluruh permukaan (bagian luar) dari tali tadi, dengan jalan menjahit manik-manik tersebut. Setelah itu tali siap dipakai pada kedua ujung dan dapat langsung dijahit sehingga tali langsung berbentuk bulat atau dengan jalan mengingat kedua ujung tali atau membuat kancing kait.

Cara memakainya. Tali dipakai diatas kepala tepat di atas dahi sebagai penahan rambut. Fungsinya. Tali mempunyai fungi sebagai penahan rambut. Pemakai tali rambutnya harus dilipat keatas. Tali selain sebagai penahan rambut juga sebagai hiasan kepala. Persebarannya. Tali dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat pemakainya bukan saja sebagai alat perlengkapan tari, tetapi talia adalah suatu alat perlengkapan setiap hari yang berfungsi sebagai pebahan rambut baik ke pesta, ketempat kerja (sawah umpamanya) berolah raga selalu memakai disesuaikan dengan kebutuhan.

Mana yang cocok untuk ke pesta mana yang cocok untuk kerja atau berolah raga. Sehingga tali atau tali bonto tidak dapat dilepakan sebagai perlengkapan tari dipakai pada semua tarian tradisional dari suku Kulawi di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Terhadap tari garapan tari kreasi yang berasal dari tari trasdisional seperti raego juga menggunakan tali yang sidah dibuat dari gardus dan dibungkus dengan kain yang diberi pita manik-manik. 15. Siga (Destar) Bahan: Kain (yang dibuat dari bahan tenunan).

Bentuknya: Segi empat dengan ukuran 1 m x 1 m. Cara membuatnya. Siga yang digunakan oleh penari di Sulawesi Tengah kebanyakan singa hasil tenunan. Siga biasanya dibuat dari benang sutera sintetis atau hasil campuran benang katun dan benang kapas yang lebih dikenal dengan nama Spunlik. Untuk menenun siga diperlukan satu earna saja untuk itu baik benang lungsi maupun pakan dicelup dalam satu warna. Siga ditenun berbentuk segi empat. Pada bagian pinggiran dan bagian tengahnya diberi hiasan dengan benang emas, dengan jalan menyelipkan benag emas atau perak atau ketika menenun.

Pembuatan ragam hias ini dilakukan dengan cara menghitung komposisi tingkat benang dalam susunan benang yang mempunyai motif sendiri. Untuk satu lembar siaga biasanya dapat diselesaikan oleh pengrajin desa sampai tiga hari. Pada umumnya cara menenun masih menggunkan alat tenun tradisional yang dikenal gedongan. Cara memakainya. Siga diikatkan atau dililit pada kepala sedemikian rupa sehingga salah satu sudut berdiri disamping kiri atau kanan kepala yang akhirnya dijatuhkan diarah yang bertentangan. Fungsinya. Siga berfungsi sebagai penutup kepala sekaligus sebagai hiasan kepala.

karena Siga adalah pakaian atau perlengkapan serta seperangkat pakaian pria pada umumnya di Sulawesi Tengah maka hampir semua tarian di Sulawesi Tengah harus memakai siga. Baik dia tari upacara tari kerja ataupun tari hiburan sekalipun semua memakai Siga. Persebarannya. Berhubung Siga adalah pakaian sehari-hari masyarakat Sulawesi Tengah, maka seperti telah kami ungkapkan di atas, hampir semua tari menggunakan Siga sebagai pelengkap pakaian tari tersebut. 16. Sampolu (Selendang) Bahan: Kain (hasil tenun).

Bentuk: Segi empat panjang dengan ukuran panjang 1,5 m Lebar 60 cm Cara membuatnya. Sampolu pada mulanya ditenun dari benang sutera. Seperti kita ketahui bahwa di Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Donggala terkenal dengan tenun sarung Donggala. Jadi yang ditenun bukan hanya sarung saja melainkan bermacam-macam jenis perlengkapan seperti sampolu (selendang) siga (Destar) sitage (stagen), dan lain-lain.

Untuk menenun tersebut masih digunakan alat tenun gedongan. Cara menenun sampolu kedua arah benang nupasau danupasua atau lungsi maupun pakan tersebut dari satu warna. Untuk simpolu dapat memilih warna-warna merah, kuning dan hijau. Pada simpolu kita temui hiasan pada semua tepi, kecuali tepi bagian bawah. Hiasan tersebut dari benang kumbaja atau benang warna emas dan perak dengan jalan menyisipkan benang kumbaja tersebut ketika menenun.

Pembuatannya dengan jalan menghitung benag menyerupai piramida tetapi mempunyai motif tertentu seperti bunga. Satu lembar Simpolu dapat diselesaikan dalam waktu dua sampai tiga hari lamanya. Cara memakainya. Sampolu dipakai diatas kepala menutup seluruh kepala. Sampolu digunakan pada tarian tradisional seperti tari Pewulu Cinde, Tari Tomanuru dan hampir semua tari tradisional. Fungsinya. Pada tari Pewulu cinde, Sampolu dipakai sebagai penutup muka gadis-gadis penari bukan sebagai cadar melainkan Sampolu disini menunjukkan kepribadian dan keseopanan.

Sebab apabila tidak memakai Sampolu nampaknya penari seperti kehilangan pakaian. Persebarannya. Untuk Sampolu digunakan memakai pada hampir semua tari tradisional dan tari daerah bahkan tari kerja pun kadang-kadang memakai Sampolu hanya saja disesuaikan dengan kebutuhan tari. 17. Pakamba (sejenis Selendang) Bahan: Kain hasil Tenunan.

Bentuk: Segi empat, panjang 1 m, lebar 60 cm. Cara membuatnya. Sama seperti mebuat Sampolu, hanya tidak memakai benang emas. Cara memakainya. Diikatkan pada pinggang diatas pakaian lain seperti baju dan sarung. Fungsinya. Sebagai penutup bagian badan yang dianggap menonjol yakni pantat. Persebarannya. Pakamba digunakan pada Pajoge Maradika Dan hampir semua tari upacara penyembuhan seperti tari Tomanuru, tari salonde, juga beberapa tari yang memakai celana panjang seperti tari jepeng, tarin randatovea dan beberapa tari yang sejenis yang menggunakan celana panjang atau sarung yang agak sempit.

Seperti beberapa tari kreasi lainnya juga sudah banyak memakai pakamba yang juga sudah dikreasikan bentuknya. 18. Cinde Bahan : Mbesa, kain putih dan potondate. Bentuk : Cara membuatnya. Mbesa adalah bahan (kain) hasil tenunan suku kaili di Kabupaten Donggala yang mempunyai motif dan warna hampir sama dengan motif tenunan Nusa Tenggara Timur atau Timor Timur tetapi lebih dekat dengan motif Toraja di Sulawesi Selatan. Kain ini dibuat dari benang kapas.

Dasar membuatkan kain mbesa ini yaitu kain tenun dengan tehnik ikat. Mbesa ini mempunyai unsur khas dalam bentuk corak dan gaya warnanya. Motif-motif hias yang dibuat dengan cara mengikat benang pakannya kemudian dicelup dalam bahan warna, sebelum ditenun. Bagian-bagian yang diikat sudah merupakan pola hias yang dikendaki dan kemudian dicelupkan ke dalam bahan warna.

Bagian-bagian yang diikat tetap mempunyai warna asli benanngnya, sedangkan yang tidak diikat berubah warnanya, sesuai dengan warna celupannya. Cara mengikat benang untuk ragam hias dalam proses mencelup ini, sama dengan cara menutup pola hias batik, yaitu dengan malam atau lilin lebah. Hanya bedanya, jika pada penutupan dengan lilin, setelah selesai proses pencelupan selesai, diakhiri dengan menghilangkan lilin lebah tadi melalui pengerikan.

Sedangkan pada tehnik ikat dalam tenun bagian yang diikat hanya dibuka ikatannya. Jenis tali pengikat adalah sejenis rumput yang disebut daun silar, yang dapat menahan cairan air tidak masuk ke dalam bagian benang yang diikat, tetapi sekarang banyak juga yang menggunakan tali serat sintetis yaitu rapia. Setelah ditenun, hasil dari pencelupan menghasilkan bentuk hias yang tampak warna diisi dengan warna benang lungsinya. Kesamaan ini juga karena kesamaan warna benang lungsi yang gelap atau tua sedangka benang pakannya yang sudah berbentuk ragam hias berwarna terang atau berwarna muda. Pada umumnya warna benang pakan dan lungsi sama.

Untuk membuat ragam hias, sebelum dicelup benang dasar warna putih diikat. Setelah dicelup dan dikeringkan maka pengikat dibuka, sehingga nampak ragam hias yang kita kehendaki. Apabila ragam hias tersebut ingin kita beri warna lagi maka cukup dengan mengoleskan warna pada ragam hias yang sudah ada. Kebanyakan mbesa hanya memiliki dua warna yakni warna dasar putih dengan ragam hias coklat atau merah darah. Mbesa dibutuhkan untuk sebuah Cinde dengan ukuran panjang 1,50 cm, lebar 1,10 cm.

Kemudian pada ujung mbesa dililitkan kain putih serta dimasukkan sebuah Pontondate. Cara memakainya. Cinde diletakkan diatas sebuah piring (antik). Piring tua yang dipegang oleh salah seorang penari. Pada akhir tarian ujung cinde yang diberi kain putih dan ponto diambil oleh penari paling depan kemudian berjalan kembali sembari penari paling belakang menghambur beras kuning.

Tari Peulu Cinde ditarikan oleh 3 orang puteri. Fungsinya. Cinde mempunyai fungsi untuk menuntun pengantin atau tamu agung. Apabila tari ini ditarikan pada pesta perkawinan maka cinde diulurkan oleh salah seorang penari pada pangantin pria mulai dari tangga sampai pada tempat yang disediakan untuk pengantin (pelaminan). Apabila ditarikan pada penyambutan tamu agung maka cinde diulurkan oleh penari pada sang tamu sejak dari tangga terakhir pasawat atau kendaraan lain atau mulai dari tangga rumah hingga pada tempat yang sudah disediakan untuk tamu tersebut. Persebarannya.

Cinde sampai saat ini baru digunakan oleh tari peulu cinde dan pada upacara-upacara pencemputan. Baik pengantin maupun tamu-tamu agung. Pada umumnya daerah yang ada rajanya atau dikenal dengan Magau mengenal Cinde. Cinde juga bisa digunakan dalam upacara tanam tembuni yakni dengan jalan mengikat kepala 7 buah berturut-turut satu per satu diturunkan dari rumah yang agak tinggi ketempat dimana tembuni ditanam. 7 butir kelapa ditanam disekeliling tembuni. Jadi cinde sangat dikenal oleh masyarakat Kabupaten Donggala. 19. Silu (pengikat) Bahan: Kulit kayu. Bentuk: Pipih panjang dengan ukuran 5 cm panjang 75 cm, lebar 5 cm. Cara membuatnya.

Mula-mula memilih kayu Nunu (beringin) kemudian dengan memberi makanan atau sesajen yang berupa satu ekor ayam putih dan makanan ketan empat warna yakni merah putih, kuning dan hitam, lalu sando atau dukun membaca mantra yang memohon pada roh halus penghuni pohon besar tersebut tidak marah karena tempat tinggal mereka akan rusak. Seudah itu siap memilih dahan yang cukup untuk kebutuhan pembuatan Silu. Setelah itu dahan tali dipotong-potong dengan panjang ± 60 cm sampai 70 cm.

Kemudian direndam disungai selama tiga malam setelah kulit lepas dari batangnya, lalu kulit tadi diletakkan diatas papan tempat yang sudah disiapkan lalu dipukul-pukul hingga kulit arinya dan kulit bagian atas keluar kemudian direndam lagi di dalam sungai selama tiga hari tiga malam. Setelah itu kulit kita angkat lalu dipukul-pukul kembali diatas papan dengan alat pemukul juga yang sudah disiapkan untuk itu.

 Setelah kulit menjadi lebar dan menipis maka terakhir dicuci hingga bersih lalu dijemur dipara-para yang sudah disiapkan untuk itu. Setelah kering maka kulit kayu tadi dapat dibuat silu. Kulit kayu dapat dipotong saja dengan pisau yang tajam sepanjang 75 cm dengan lebar 20 cm kemudian bahan yang sudah dipotong lalu dilipat empat. Setelah itu masing-masing ujung ± 10 cm diris-iris sebesar 1 cm. Ujung yang berjambul ini biasanya diberi warna merah yang juga didapat dari kulit kayu lembagu atau dari kasumba merah. Setelah itu silu siap dipakai.

Cara memakainya. Silu diikatkan pada kepala tepat diatas dahi pada penari balia Tampilangi atau pada umumnya tari upacara penyembuhan. Para penari apabila kesurupan dapat menari diatas bara yang cukup panas. Funginya. Fungsi utama dari silu adalah untuk menguatkan hati penari mengokohkan jiwa dan membesarkan jiwa sebab silu berasal dari kayu Nunu (beringin) yang dikenal kepunyaan roh-roh halus dapat menghalau roh-roh jahat. Persebarannya.

Sampai saat ini silu masih dipakai oleh penari tari-tari upacara penyembuhan. Pada umumnya. Apabila tari itu sudah dikreasikan maka biasanya silu udah dapat dibuat dari kain yang dihiasi yang nampaknya sebagai hiasan kepala saja. Sedangkan silu sangat dikenal di daerah Kabupaten Donggala dan Poso. 20.Kaliavo (Perisai) Bahan: Kayu lepas (bahasa kaili) Kayu lepaa.

Bentuk : Lihat foto. Cara membuatnya. Mula-mula mencari kayu lepaa dengan membuat upacara berupa memberi makan (sesajen) nasi pulut empat warna, hitam, putih, merah dan kuning, serta ayam putih. Kemudian sang dukun membaca mantera, yang gunanya untuk memohon pada Sang Maha Besar Tuhan memakai perisai ini kuat dan menang dalam medan perang, juga meminta pada para penghuni hutan bahkan kayu-kayu tersebut agar merestui dan memberi dengan senang hati.

Kemudian dipilih kayu yang garis menengahnya ± 18 cm sampai 20 cm, panjang ± 110 cm. Kemudian dibagi empat. Seperempat bagian dibuang, tinggal tiga perempat gabian berbentuk segi tiga. Lalu bagian dalam dipahat dibentuk sehingga yang tinggal adalah tempat pegangan dengan ukuran ± 40 cm yakni 20 + 20 cm batas penahan tempat pegangan sedangkan 20 cm adalah berupa lebar sisi kiri kanan 10 cm, sisi dalam 8 cm, tebal sisi ± 3 cm. Pada bagian dinding sisi dibuat lubang tempat untuk menanam rambut (memasukan) rambut.

Jarak antara bari tempat menanam rambut tersebut ± 6 cm, sebelum lubang diikatkan dahulu rotan selebar kedua sisi kaliavo dengan lebar rotan 2 cm kemudian untuk menggunakan pengikat rotan tadi dijahit pula dengan rotan sepanjang dan selebar rotan pengikat tersebut, agar ikatan tambah kuat. Dengan demikian terbentuklah sebuah kaliavo.

Cara memakainya. Kaliavo dipakai pada tangan kiri sebagai alat penangkis pukulan atau tombak musuh. Juga digunakan seperti mengeluk-elukan dipermain-mainkan saja pada tangan kiri. Fungsinya. Pada tari meaju kaliavo dipegang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang tampi (tombak) kedua alat tersebut diangkat dan mengeluk-eluk dengan maksud memberi semangat para pahlawan baik yang akan menuju medan perang maupun yang kembali dari medan perang.

Sedangkan pada tari meaju garapan kedua alat tersebut digunakan sebagai alat perang. Persebarannya. Sampai sekarang ini kaliavo dan tampi baru digunakan pada tari meaju, baik meaju asli maupun meaju garapan baru. Kaliavo sangat dikenal dimasyarakat umumnya Sulawesi Tengah khususnya di Kabupaten Donggala. Namun kaliavo yang digunakan pada tari meaju garapan baru bukan lagi kaliavo yang dibuat seperti pada cara pembuatan diatas tetapi sudah dapat dibuat dari dua belah papan yang kemudian dipaku saling dilekatkan sisinya kemudian membuat tempat pegangan di bagian dalam. Sedangkan hiasan dari rambut sudah tidak ditemui lagi kecuali menghiasinya dengan cat yang dibuat sedemikian memberi kesan seperti kaliavo aslinya.

 Sumber: Perpustakaan Daerah Propinsi Jl. Banteng No. 6 Palu Telp. (0451) 482490

Ditulis Oleh : C.U (Cari Urusan) ~ Deskripsi Blog Anda

Artikel Peralatan Tari Tradisional 2 ini diposting oleh C.U (Cari Urusan) pada hari Kamis, 03 Mei 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: Get this widget ! ::

0 komentar:

Posting Komentar