Tumpe merupakan Upacara Adat yang seharusnya dilaksanakan setiap tahun pada bulan September pada musim pertama bertelurnya burung Maleo, yakni, burung endemik Sulawesi yang hidup di kawasan Bakiriang, Kecamatan Batui
Upacara Molabot Tumpe dilaksanakan oleh masyarakat Kota Banggai (Kabupaten Banggai Kepulauan) dan masyarakat Kecamatan Batui (Kabupaten Banggai).
Upacara Molabot Tumpe merupakan rangkaian Adat Istiadat Kerajaan Banggai masa lampau yang punya pertalaian sejarah dengan berdirinya Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan.
Prosesi Molabot Tumpe, akan diawali dengan pengumpulan telur burung Maleo oleh perangkat Adat Batui sebanyak 160 butir. Setelah itu telur dikumpulkan di Rumah Ketua Adat, dilanjutkan dengan menyiapkan perahu dan pengantar telur Maleo sebanyak 7 orang, terdiri 3 orang dari Tua-Tua Adat dan 4 orang pendayung. Sebelum diberangkatkan ke
Banggai, telur Maleo akan dibungkus dengan daun Komunong (sejenis Daun Palma).
Konon, meski keberangkatan pengantar telur burung Maleo dari Batui ke Banggai tidak dikabarkan terlebih dahulu ke Kota Banggai, tetapi Tua-Tua Adat di Kota Banggai sudah mengetahui tentyang rencana kedatangan rombongan pembawa telur burung Maleo dari Batui. Biasanya, Tua-Tua Adat Banggai yang sudah tahu tentang rencana kedatangan tamu dari Batui untuk mengantarkan telur Maleo, langsung membuat persiapan seperlunya di Banggai.
Diantaranya dengan membuat persiapan penyambutan di Pelabuhan Banggai, persiapan pengantaran telur ke rumah Jogugu, melakukan pembersihan rumah Keramat di Boneaka dan Banggai Lalongo, serta penentuan pembagian telur.
Pemberangkatan rombongan pengantar telur Maleo dari Batui ke Banggai, dimulai dengan rombongan menjemput telur Maleo yang telah dipersiapkan ke rumah Ketua Adat. Ketika akan menuju ke pelabuhan, rombongan diarak dengan iringan tetabuhan gong dan gendang.
Dalam perjalanan dari Batui ke Banggai, rombongan pengantar harus mampir (singgah) di desa Tolo, salah satu desa yang ada di Pulau Peling, guna mengganti daun pembungkus telur Maleo.
Dari Tolo rombongan kemudian menyeberang ke Pulau Banggai. Meski sudah sampai di Banggai, rombongan pengantar telur Maleo tidak boleh langsung masuk ke Pelabuhan Banggai.
Syaratnya, saat rombongan sudah mendekati pelabuhan Banggai, perahu harus didayung ke arah Banggai Lalongo – Banggai, berputar 3 kali (PP). Artinya 3 kali ke Banggai Lalongo dan 3 kali ke Banggai, setelah itu baru perahu boleh memasuki Pelabuhan Banggai.
Tiba di Pelabuhan Banggai, ketua rombongan langsung melapor kepada Jogugu sebagai pemangku Adat di Banggai.
Setelah melapor, ketua rombongan akan kembali ke pelabuhan untuk memimpin rombongan mengantar telur burung Maleo ke rumah Jogugu. Di kediamannya Jogugu beserta Tua-Tua Adat sudah menanti untuk menerima telur Maleo. Bila telur sudah diterima oleh Jogugu acara dilanjutkan dengan silaturahmi antara rombongan Batui dengan Tua-Tua Adat Banggai, setelah itu rombongan Batui mohon pamit untuk kembali lagi ke Batui.
Selama dua malam telur disimpan di rumah Jogugu. Hari ketiga diadakanlah pembagian telur. Untuk Pemangku Adat Putal mendapat 40 butir, Pemangku Adat Boneaka 40 butir, Pemangku Adat Boniton 40 butir, Baginsa (Komisi Empat) 20 butir, sewa rumah Jogugu 10 butir, dan rombongan pengantar 10 butir. Bagi Pemangku Adat Putal, Boneaka dan Boniton telur tersebut masih harus disimpan 2 malam. Pada hari ketiga barulah telur dibagi-bagikan kepada keluarga dan masyarakat.
Bagi masyarakat Batui belum boleh memakan telur burung Maleo sebelum / selama telur tersebut belum dipersembahkan (diantar) ke Banggai.
Konon bila ada masyarakat Batui yang melanggar ketentuan, biasanya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya sakit. Dan bila itu terjadi dan kebetulan kulit telur Maleo jatuh ke sungai atau ke laut, maka kulit tersebut akan hanyut sampai ke Banggai. Kejadian itu lazimnya akan mendatangkan hujan deras dan angin kencang.