Foto:Yayasan Merah Putih |
24 Juli 2007 - 15:4 WIB Penulis:Subarkah
Keluguan masyarakat adat yang berpola pikir sederhana kerap mengundang tipu daya. Orang-orang kota yang kenyang dengan peradaban maju, begitu "pintar" mengakali dan mengambil keuntungan besar dari mereka yang lugu.
Masyarakat adat Tau Taa Wana di pedalaman kawasan daerah aliran Sungai Bongka, Tojounauna, Sulawesi Tengah, menggantungkan hidup mereka dari kedermawanan alam. Mereka menyambung hidup dari limpahan hasil hutan di jantung Pulau Sulawesi.
Diperkirakan terdapat 275 jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan masyarakat adat ini untuk menopang kehidupan. Dari semuanya hanya rotan, damar, gaharu, dan madu yang dipertukarkan dengan masyarakat "luar". Itu pun hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat adat yang tidak tersedia di hutan, seperti garam dan gula.
Pertukaran barang atau barter antara masyarakat adat dan masyarakat luar dilakukan hanya berdasarkan rasa percaya. Namun kepercayaan inilah yang justru dimanfaatkan oleh tengkulak untuk meraih keuntungan berlimpah.
Badri Djawara, pendamping masyarakat adat Tau Taa Wana, menuturkan, terkadang ratusan kilogram bilah rotan hanya ditukar dengan barang elektronik yang harganya tak seberapa. Hal itu terjadi karena masyarakat adat menganggap orang yang mereka hadapi jujur seperti mereka. Padahal, butuh waktu berminggu-minggu untuk mengumpulkan rotan dari perburuan dan pencarian jauh di dalam hutan. Minimnya perbekalan untuk berburu rotan membuat para pengumpul sering harus berutang terlebih dulu kepada para tengkulak. Utang itu dibayar dengan rotan dengan harga yang sangat murah.
"Kearifan masyarakat adat Taa dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh tengkulak. Secara ekonomi terdapat ketimpangan harga yang sangat besar," ujar Badri.
Minimnya pengetahuan masyarakat adat soal harga pasaran hasil hutan yang dipertukarkan dengan para tengkulak menjadi penyebab utama ketimpangan harga. Selain itu, budaya barter yang masih dianut masyarakat adat Tau Taa Wana juga menjadi penyebab kerap dimanfaatkannya mereka oleh para tengkulak.
Pemerintah daerah juga belum berperan dalam memberikan pengetahuan soal cara berdagang yang adil. Pemerintah hanya sibuk merelokasi masyarakat adat karena menganggap mereka sebagai penghuni liar yang merusak hutan.Sebagain besar wilayah hutan adat masyarakat Tau Taa Wana kini sudah diserahkan proyek penggundulannya kepada beberapa perusahaan raksasa perambah hutan.
Sistem perekonomian tradisional yang menopang hidup masyarakat adat Tau Taa Wana terancam punah. Sebenarnya masyarakat adat ingin lepas dari kondisi ekonomi yang menyimpang itu dengan membangun bisnis komunitas yang lebih berdaulat dan mandiri. "Untuk itu dibutuhkan kemampuan organisasi di tingkat masyarakat, manajemen usaha, dan informasi harga hingga membangun jaringan bisnis komunitas," kata Badri Djawara. (E1)Subarkah
0 komentar:
Posting Komentar