Apa Gona (Doc.SILO) |
Bagi masyarakat adat Tau Taa Wana seni tradisi merupakan warisan budaya
leluhur yang harus dijaga dan dan dipertahankan, musik merupakan salah
satu kekayaan seni budaya yang selalu mengiringi kehidupan harmoni
komunitas ini sejak dahulu kala, musik bagi mereka bukan sekedar hiburan
namun menjadi unsur penyeimbang dalam kehidupan yang bersahaja,
bermartabat dan penuh nilai-nilai persaudaraan dan penghormatan pada
sesama.
Musik menjadi bagian yang penting dalam interaksi sosial tau Taa Wana,
baik interaksi mereka dengan alam maupun dengan sang pencipta yang
memberi mereka kehidupan.
Salah satu alat musik tradisi yang tetap dimainkan hingga saat ini adalah Du’e, irama yang dikeluarkannya benar-benar khas dan bernuansa ritual. Musik ini kerap dimainkan di waktu-waktu senggang, saat pelaksanaan ritual adat, dan dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya Du’e dimainkan bila ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sebagai tanda perasaan ikhlas keluarga yang ditinggalkan dan mengiringi roh dalam perjalanan ke alam yang lain.
Du’e adalah jenis alat musik petik satu tali yang terbuat dari kayu mancili, dengan tambahan tangkai terbuat dari bambu sebagai pengantar bunyi ke membran tempurung, dimainkan dengan cara dipetik sambil membran tempurung dirapatkan pada perut dan sesekali dibuka untuk mencari irama yang pas. Untuk memainkan alat ini agar menghasilkan kombinasi nada yang harmoni dibutuhkan keterampilan khusus dan latihan yang serius.
Tingginya tingkat kesulitan memainkan Du’e diakui oleh komunitas Tau Taa Wana, tak heran bila hanya tetua kampung dan tetua adat saja yang benar-benar mahir memainkan alat musik tradisi ini. Di komunitas Tau Taa Wana Bulang, salah satu tetua kampung yang mahir memainkan alat musik tradisi ini adalah Apa Ntoi.
Pada saat pementasan seni tradisi di lipu Lengkasa yang diselenggarakan kelompok pemerhati seni tradisi PEDATI beberapa waktu silam, apa Ntoi dengan sangat antusias memainkan alat musik ini dengan penuh penghayatan, anggota komunitas dan beberapa tamu yang hadir dalam pertunjukan ini dibuatnya terpesona.
Kearifan budaya Tau Ta’a Wana di pedalaman masih bertahan belum ada pengaruh dari luar dan mereka mengakui bahwa umur dari tradisi ini sudah tidak dapat prediksikan lagi. mengapa tradisi ini sangat langkah dan memiliki arti bagi kelangsungan hidup Tau Ta’a Wana sebab tradisi yang sangat kaya ini, sangat berhubungan dengan kehidupan mereka. Misalnya sebelum mereka lahir dalam kandungan mereka sudah diajarkan dengan petuah-petuah bijak dengan mendengarkan Mavadi, begitupula setelah
istilah kesenian tidak pernah dikenal sebelumnya karena memang istilah kesenian ini datang dari luar. Mereka hanya menjalani hidup dengan tidak melepaskan tradisi yang mereka warisi secara turun menurun dari nenek moyangnya. Pelajaran itu biasannya melalui penuturan dalam petuah bijak (kayori) dalam upacara adat maupun lewat mogombo (pertemuan adat).
Salah satu alat musik tradisi yang tetap dimainkan hingga saat ini adalah Du’e, irama yang dikeluarkannya benar-benar khas dan bernuansa ritual. Musik ini kerap dimainkan di waktu-waktu senggang, saat pelaksanaan ritual adat, dan dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya Du’e dimainkan bila ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sebagai tanda perasaan ikhlas keluarga yang ditinggalkan dan mengiringi roh dalam perjalanan ke alam yang lain.
Du’e adalah jenis alat musik petik satu tali yang terbuat dari kayu mancili, dengan tambahan tangkai terbuat dari bambu sebagai pengantar bunyi ke membran tempurung, dimainkan dengan cara dipetik sambil membran tempurung dirapatkan pada perut dan sesekali dibuka untuk mencari irama yang pas. Untuk memainkan alat ini agar menghasilkan kombinasi nada yang harmoni dibutuhkan keterampilan khusus dan latihan yang serius.
Tingginya tingkat kesulitan memainkan Du’e diakui oleh komunitas Tau Taa Wana, tak heran bila hanya tetua kampung dan tetua adat saja yang benar-benar mahir memainkan alat musik tradisi ini. Di komunitas Tau Taa Wana Bulang, salah satu tetua kampung yang mahir memainkan alat musik tradisi ini adalah Apa Ntoi.
Pada saat pementasan seni tradisi di lipu Lengkasa yang diselenggarakan kelompok pemerhati seni tradisi PEDATI beberapa waktu silam, apa Ntoi dengan sangat antusias memainkan alat musik ini dengan penuh penghayatan, anggota komunitas dan beberapa tamu yang hadir dalam pertunjukan ini dibuatnya terpesona.
Kearifan budaya Tau Ta’a Wana di pedalaman masih bertahan belum ada pengaruh dari luar dan mereka mengakui bahwa umur dari tradisi ini sudah tidak dapat prediksikan lagi. mengapa tradisi ini sangat langkah dan memiliki arti bagi kelangsungan hidup Tau Ta’a Wana sebab tradisi yang sangat kaya ini, sangat berhubungan dengan kehidupan mereka. Misalnya sebelum mereka lahir dalam kandungan mereka sudah diajarkan dengan petuah-petuah bijak dengan mendengarkan Mavadi, begitupula setelah
istilah kesenian tidak pernah dikenal sebelumnya karena memang istilah kesenian ini datang dari luar. Mereka hanya menjalani hidup dengan tidak melepaskan tradisi yang mereka warisi secara turun menurun dari nenek moyangnya. Pelajaran itu biasannya melalui penuturan dalam petuah bijak (kayori) dalam upacara adat maupun lewat mogombo (pertemuan adat).
Sumber:Esilo (Media Aspirasi Rakyat)
0 komentar:
Posting Komentar